Thursday, November 07, 2013

Ketika Walikota Palu Meminta Maaf Pada Korban 1965

Pagi itu, di ruang tamu sebuah rumah type 60 di kompleks perumahan Lagarutu, seorang lelaki berkaus oblong hitam bertuliskan Kopassus bercelana pendek, sedang berbicara dengan dua tamunya. Suaranya meledak-ledak dan serak. Bagi yang baru kenal dengannya, pasti disangkanya sedang marah. Padahal itulah ciri khasnya.



Lelaki itu adalah Rusdy Mastura, Walikota Palu dua periode dari Partai Golkar. Dia juga mantan Ketua Pemuda Pancasila Sulawesi Tengah. Tapi dibesarkan dari keluarga Masyumi. Meski kemudian dia menjadi Ketua Harian Partai Golkar, tapi moral politik kader Masyumi menjadi pandangan politiknya hingga kini.

Suatu hari di tahun 1973, ia bertemu tokoh Masyumi, Mohammad Natsir (1908-1983). Kepada dedengkot Partai Masyumi itu, ia menyampaikan gugatan mengenai keinginan Masyumi yang mau menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam.

“Buya (sapaan akrab Mohammad Natsir), gara-gara Buya mau menjadikan Negara Islam, akhirnya Masyumi dibubarkan,” gugatnya kepada Mohammad Natsir ketika itu.

Dari gugatan itu, katanya, Mohammad Natsir menjelaskan kepada Rusdi Mastura, apakah Masyumi sebagai partai pemenang kedua setelah Partai Nasional Indonesia (PNI), tidak bisa menawarkan ideologi Islam sebagai Dasar Negara, sementara Katolik juga menawarkan Kristen sebagai ideologi negara, Partai Komunis Indonesia (PKI) menawarkan komunis sebagai dasar negara.

“Jadi apakah saya salah,” kata Cudy sapaan akran Rusdi Mastura mengutip pernyataan Mohammad Natsir ketika itu.

Saat itu, menurut Cudy, Masyumi telah menyatakan perang terhadap PKI. Sikap politik Masyumi dalam menentang komunisme ini sangat mudah dipahami, karena adanya perbedaan yang cukup mendasar, yaitu sikap terhadap hak milik, Islam menghargai hak milik pribadi, sedangkan paham komunis merelatifkan hak milik pribadi.

Adanya pertentangan dalam lapisan filsafat ideologis, dalam masalah ini terdapat pertentangan yang sangat mutlak antara Islam dan komunisme. Islam menggunakan dasar filsafat dan pandangan hidup yang bertolak dari wahyu Illahi yang diturunkan Nabi Muhammad SAW, sedangkan komunisme bertolak dari pandangan kesejarahan yang bersifat deterministik.

“Eskatologi Islam adalah terwujudnya masyarakat yang diridhoi oleh ALLAH, sebaliknya eskatologi dari Komunisme, yaitu terwujudnya suatu masyarakat yang tanpa kelas”dengan dasar materialisme. Itulah yang membuat Masyumi sangat anti terhadap komunis yang dibawa oleh PKI,” ujarnya.

Selain itu, pada ranah tingkah laku politik (political behaviour), Islam sangatlah tergantung pada ketentuan-ketentuan moral dalam berpolitik. Perilku politik dalam Islam hanyalah merupakan alat untuk memajukan strategi sosial Islam yang berdasarkan wahyu Illahi, sedangkan untuk komunis, politik bukanlah sekedar alat, tetapi bagian dari keseluruhan ideologi sehingga tidak ada ikatan moral dalam berperilaku politik dalam partai komunis.

“Kebencian” terhadap komunis yang dibawa oleh PKI, telah mendarahdaging dalam diri seorang Rusdi Mastura yang lahir dan dibesarkan dari keluarga Masyumi itu. Bagi Cudi, tidak ada alasan bagi dia untuk dapat menerima paham komunis untuk diterapkan di Indonesia yang berdasar Pancasila.

JANGAN ADA DENDAM


Fanatismenya pada Masyumi, apalagi ditambah dengan aktivis Pemuda Pancasila (ia pernah dua kali menjabat sebagai Ketua Pemuda Pancasila Sulawesi Tengah dan sekarang sebagai Ketua MPO Pemuda Pancasila Sulawesi Tengah) akan sangat sulit bagi Rusdy Mastura meminta maaf kepada para korban kekerasan negara terhadap orang-orang yang dituduh PKI tahun 1965. Tetapi, kata dia, masa lalu itu adalah bagian dari sejarah kelam Indonesia. Sejarah itu dijadikan sebagai pelajaran berharga bagi anak bangsa, untuk menata masa depan Indonesia yang lebih baik.

Saat ini, kata dia, dunia sudah sangat terbuka. Dunia sudah sangat bebas. Dengan begitu, maka siapapun boleh hidup dan menjadi warga negara Indonesia. Tetapi, perlu ada kesepakatan-kesepakatan bersama, bahwa Pancasila itu adalah ideologi negara yang hingga kini tetap diterima oleh semua pihak. Dengan kesepakatan itu, dendam masa lalu dikuburkan dan saling memaafkan untuk Indonesia yang lebih baik lagi.

Cudi meminta maaf kepada para korban dan keluarga korban tahun 1965 itu, juga karena membaca sejarah para tokoh Indonesia. Mohammad Natsir pernah dipenjara oleh Presiden Soekarno ketika itu, tapi ia memaafkan Bung Karno. Buya Hamka juga memaafkan Bung Karno, meskipun tokoh Muhammadiyah itu pernah juga dipenjara oleh Bung Karno.

“Saya yang hanya sebagai Walikota Palu, masa saya tidak mau meminta maaf kepada warga saya sendiri. Mereka itu yang memilih saya menjadi walikota, jadi wajarlah kalau saya meminta maaf,” katanya.

Terlepas dari itu semua, katanya, permintaan maaf itu semata-mata karena alasan kemanusiaan. Kemanusiaan itu pantas menjadi pertimbangan. Dengan alasan kemanusiaan, semua orang punya hak dan kewajiban yang sama di mata hukum.

“Jadi masa lalu itu sudah berlalu dan janganlah ada dendam di antara kita,” ujarnya.

Kasus-kasus terorisme dan tindakan negatif lainnya yang banyak terjadi di Indonesia saat ini, kata dia, karena mereka itu tak lagi punya harapan dalam hal apa saja. Maka salah satu solusi yang dapat ditawarkan adalah berikanlah harapan itu, agar mereka menjadi orang yang positif.

Diakui atau tidak, katanya, para korban 1965 dan keluarganya itu merasa tak lagi punya harapan mendapatkan akses di negeri ini, maka sebagai pemimpin di daerah ini, ia pantas memberikan harapan itu kepada mereka dengan beberapa kompensasi seperti beasiswa, asuransi kesehatan melalui program jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) dan memberikan kesempatan yang sama dalam karir dan politik.

“Lantas apakah saya salah karena sikap saya itu?,” kata pria yang dilahirkan dari pasangan Labebo Mastura dan Indo Millo itu.

WALIKOTA MERAKYAT


Banyak pihak di Palu tidak kaget ketika media-media mengkampanyekan tipe kepemimpinan Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta. Gaya blusukan, mendekatkan diri dengan rakyat dan berpakaian apa adanya, bukanlah barang baru bagi masyarakat Palu, karena kebiasaan itu sudah dilakukan oleh seorang Rsudy Mastura, sejak ia masih menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Palu 15 tahun lalu.

Bahkan, sejak menjadi Walikota Palu yang sudah hampir 10 tahun lalu, gajinya tidak pernah utuh diterima. Sekretaris Kota Palu, Aminuddin Atjo mengatakan, walikotanya itu selalu mengambil panjar gajinya karena harus diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Bahkan pernah dia gajinya tersisa Rp 100 ribu sebulan, karena sudah diambil sebelumnya.

Lantas dari mana dia dapat membiayai hidupnya. Aminuddin Atjo mengatakan, usaha-usahanya yang sudah dijalankan sebelumnya saat menjadi konsultan di Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo) itu yang menghidupi lelaki kelahiran 8 Agustus 1950 itu.

Hampir di setiap akhir pekan, Rusdy Mastura itu keliling Kota Palu untuk menyapa warganya. Ayah lima anak itu, lebih suka mendatangi rakyatnya daripada didatangi. Bagi dia, rakyat jangan sering mendatangi pemimpinnya, karena itu bisa merubah fungsi dari pemimpin menjadi pimpinan.

“Duduk di pinggir jalan bersama anak-anak muda dan makan bakso itu sudah biasa dilakukan Pak Walikota,” kata Ermas Chintawan, seorang warga Palu yang mengaku beberapa kali makan bakso dari gerobak dorong bersama Walikota Palu itu.

Bahkan dengan menggunakan sepeda motor, berboncengan dengan Wakil Walikota, Andi Mulhanan Tombolotutu. Bahkan ia memilik tidak tinggal di rumah dinasnya dan memilih tinggal di rumah pribadi type 60 di kompleks perumahan Lagarutu. Dan rumah dinasnya diserahkan kepada daerah untuk ditempati kantor Pertanian, Perikanan dan Kelautan.

Itu menjadi kebiasaan Rusdy Mastura sampai sekarang. Dari sisi kebijakan, ia selalu mendorong pentingnya pendekatan kinerja daripada kepangkatan. Siapapun pejabatnya, jika kinerjanya bagus, akan diberikan jabatan struktural di pemerintahan. Maka tidaklah heran, jika para lurah dan camat di Kota Palu, sebagian besar adalah anak-anak muda yang memiliki kinerja dan prestasi yang baik, tanpa memilih dari mana mereka berasal.

Bahkan, ketika menjabat sebagai Walikota Palu, ia memerintahkan agar pagar depan kantor walikota dbongkar. Maka jadilah kantor Walikota Palu tanpa pagar depan. Alasannya, agar semua orang bisa punya akses yang sama untuk masuk ke kantor Walikota Palu. Bahkan, agar kalau ada masyarakat yang berunjukrasa, mereka dapat bebas masuk tanpa harus merusak pagar, yang berimplikasi pada dianggarkannya di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hanya untuk memperbaiki pagar.

Karena itulah, kata Sudaryano Lamangkona, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota Palu, kantor Walikota Palu itu nyaris tidak pernah di demo sama sekali.

“Ya semua itu karena kebijakan Walikota Palu yang lebih mengedepankan pelayanan prima kepada masyarakatnya,” kata Sudaryano Lamangkona.

Banyak masalah di masyarakat, kata Sudaryano, selalu diselesaikan di lapangan daripada di kantor. Bahkan surat-surat yang harus ditandatangani misalnya, tak harus di kantor.

“Punggung saya ini paling sering berubah fungsi menjadi meja hanya karena mau menandatangani surat-surat penting,” kata Sudaryano.

Begitulah sepenggal kisah perjalanan Walikota Palu, Rusdi Matura. Seorang tokoh daerah yang lahir dan besar dari keluarga Masyumi, pernah bertemu dengan tokoh Masyumi, Mohammad Natsir dan menjadi aktivis Pancasila. Dia berharap, para tokoh Indonesia juga dapat melakukan hal yang sama, yaitu tidak boleh lagi ada dendam masa lalu, meminta maaf kepada para korban 1965 dan keluarganya, untuk Indonesia yang lebih baik. ***

No comments: