Thursday, November 21, 2013

WARTAWAN DI PALU SEPAKAT JADI AGEN PERDAMAIAN

Berita bentrok antarkampung yang di Kota Palu dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, kerapkali menghiasi layar kaca, laman koran situs-situs berita di Indonesia. Setiap terjadi bentrok dan konflik di Kota Palu dan sekitarnya, hampir seluruh media cetak dan elektronik menjadi sarana untuk menyebarluaskan apa yang sedang terjadi itu.  


Berbagai pihak di Kota Palu cenderung jenuh dengan hadirnya berita-berita bentrok antarkampung tersebut. Kejenuhan itu, membuat berita bentrok dan konflik itu tidak lagi dilirik pembaca dan pemirsa. Mereka kemudian mendesak agar wartawan lebih menulis berita yang mengajak warga untuk berdamai.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, merasa ikut bertanggungjawab atas persoalan tersebut. Lantaran itu, Kamis (21/11) pagi, organisasi berhimpunnya para wartawan itu menggelar diskusi terfokus mengenai media dan perdamaian.

Ketua AJI Kota Palu, Riski Maruto, mengatakan diskusi yang difasilitasi Development and Peace, sebuah lembaga donor dari Kanada itu, merupakan rangkaian dari Program Better Journalism for Better Democracy.

Hasilnya, 30 jurnalis media cetak dan televisi yang bertugas di Kota Palu dan sekitarnya sepakat menandatangani lima point kesepakatan yang mereka sebut dengan Deklarasi Jurnalis Palu untuk Perdamaian.

Deklarasi tersebut adalah jurnalis Palu tidak akan berhenti meliput dan memberitakan konflik, tapi dikemas dalam  perspektif yang berbeda, yakni memberitakan solusi daripada peristiwa, dengan manaati kaidah jurnalistik (Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan  tetap  berpedoman pada aturan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran).

Selanjutnya, bahwa kebijakan pemberitaan ada pada pimpinan media masing-masing. Oleh karena itu, jurnalis Palu meminta pengertian pimpinan media di Palu dan Jakarta, agar apat memahami psikologis wartawan yang bekerja di wilayah konflik.

Kesepakatan lainnya adalah, jurnalis Palu akan menjadi agen perdamaian bagi warga yang terlibat konflik, dalam berita-berita yang disiarkan. Perusahaan media harus memberikan jaminan asuransi kepada jurnalis yang bertugas di wilayah konflik.

“Para wartawan di Palu juga mendesak organisasi wartawan (AJI dan IJTI) untuk terus menggelar pelatihan yang bertujuan untuk peningkatan kapasitas jurnalis di Palu,” kata Riski Maruto.

Menurutnya, jurnalis di Palu, Poso dan sekitarnya kerapkali menjadi korban dari konflik/bentrok. Mulai dari korban ancaman akan dibunuh, korban kena tembak dan ada yang diancam golok di lehernya.

“Salahuddin, salah seorang kontributor televisi di Palu bahkan kena tembak di leher saat meliput bentrok di Kabupaten Sigi,” katanya.

Riski Maruto meyakini,  media dapat memberi pengaruh signifikan kepada publik, bahkan dapat mendorong kepada konflik lebih besar. Akibatnya, banyak upaya rekonsiliasi yang diusahakan pada saat itu mengalami kesulitan ekstra, karena warga  lebih mudah memeroleh dan membaca koran dan menonton televisi, dibandingkan dengan mendapatkan akses dalam proses rekonsiliasi.

“Media dapat diakses dengan mudah dan terbuka, sementara usaha-usaha rekonsiliasi harus melalui proses berbelit-belit, birokratis bahkan terkesan elitis,” ujarnya.***


 

No comments: